So So

Title : So So
Author : @yurihapsary
Cast : Luhan. Kim Minseok. Oh Sehun
Length : Oneshot
Genre : Romance. Angst
Warn : Typo’s (maybe) . OOC. Bromance

***
Jarum panjang pada benda penunjuk waktu   di dinding sudah menunjuk hampir pada angka sebelas. Dimana langit diluar juga sudah terlalu gelap, harmonis dengan suasana apartemen yang memang sudah sepi sejak dua jam lalu.

Setelah mematikan seluruh penerangan, Minseok bukannya langsung pergi tidur. Melainkan duduk di sofa kecil yang menghadap ke jendela. Menampakkan kehidupan separuh kota yang masih berjalan. Hati kecilnya berpikir, apakah diantara ratusan orang yang dapat ia lihat – meskipun hanya sekecil semut – apakah Luhan ada diantaranya? Apakah Luhan masih berada di kantornya? Atau mungkin sekarang ia sedang memarkir kendaraan pribadinya di basement apartement.

Minseok tidak tahu. Ia tidak tahu karena Luhan tidak mengabarinya. Dan Minseok cukup dewasa untuk dapat mengerti, kekasihnya sangat sibuk.

Sepasang mata kucing itu masih terlalu asik berpikir sampai ia mendengar suara pintu yang terbuka. Luhan sudah pulang.

“Luhan…” Panggil Minseok pelan. Lelaki itu berjalan mendekati kekasihnya dengan senyum manis, meskipun tak ia pungkiri. Ia mengantuk.

“Kenapa belum tidur?” Luhan malah bertanya sambil melepaskan beberapa kancing teratas kemeja yang ia kenakan. Minseok duduk dan memandangi Luhan yang tampak lelah. “Aku menunggumu.”

Pria itu tertawa kecil. “Masih ada besok, Minseok. Tidurlah.”

“Kau tidak mau aku temani makan malam?” Tawar Minseok lagi. Luhan menoleh, memandang Minseok tidak percaya. “Kau pikir sekarang jam berapa, Minseok? Aku sudah makan malam di kantor.”

“Tapi aku sudah membuatkanmu…”

“Minseok, aku lelah dan tidak ingin berdebat denganmu. Sekarang masuk ke kamar dan tidurlah. Ini sudah terlalu larut. Aku juga akan menyusul nanti, oke?”

Minseok hanya terdiam menanggapi Luhan yang sedikit arogan. Ia tahu, lelah bisa memicu emosi. Mungkin Luhan memang butuh istirahat lebih. “Baiklah.”

Pria itu masuk ke kamar dan segera memejamkan matanya. Dan tidak sulit bagi Minseok untuk tertidur bersama tubuh yang kelewat lelah saat itu.

***

Dan untuk kesekian kali, Minseok bangun dengan kasur disebelahnya yang kosong.

Luhan berangkat kerja pagi-pagi buta dan membuat Minseok menjadi semakin jarang bertemu kekasihnya.

Lelaki itu meraih ponselnya. Ia menatap layar disana yang menampakkan foto mereka berdua. Foto yang diambil ketika Luhan mengajak Minseok untuk berlibur di Jepang, menikmati indahnya bunga sakura di negara aslinya.

Minseok tersenyum, ia mengusap pelan layar itu. Sungguh, ia tidak berbohong jika mengatakan ‘Aku merindukan Luhan’.

Satu apartemen tidak menjamin Minseok menjadi sering bertemu kekasihnya. Tinggal bersama juga tidak menjanjikan apapun bagi hubungan mereka. Semakin lama, Minseok hanya merasa semakin diabaikan. Tidak ada bedanya dengan ketika ia tinggal seorang diri.

Kau sudah di kantor?’ – Send to Luhan.

Ia mengirimi Luhan pesan singkat, berharap Luhan segera membalas. Tubuh Minseok berbaring sebentar, menikmati rasa nyaman bergelung dengan selimut untuk sebentar saja. Sebelum ia mulai bergegas dan harus berangkat kuliah lagi.

Pip – ‘Iya’

Luhan juga membalas pesan singkatnya. Benar-benar pesan yang singkat, bukan?

Mata Minseok melirik pada jam dinding di kamarnya. Sekarang baru pukul Sembilan pagi. Kelas pertama Minseok dimulai pukul satu.

Mungkin, ia akan mengantarkan bekal makan siang untuk Luhan sebelum ke kampus hari ini. Ide yang tidak buruk kan?

Lelaki itu segera menyingkap selimutnya dan berjalan menuju dapur. Mengeluarkan beberapa bahan yang siap ia olah menjadi makanan lezat.

Setelah semua selesai, dan Minseok sudah berada didalam bus untuk mengantarkan makanan buatannya ke tempat Luhan berkerja. Minseok sudah sangat hafal tempat itu. Dan tidak masalah kalaupun ia harus naik bus 3 kali hari ini.

“Permisi.” Ujar Minseok pelan menyapa pendengaran resepsionis cantik yang menjaga lobby kantor Luhan.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” Balas resepsionis itu tak kalah ramah. Minseok tersenyum kecil kepada sang gadis. “Oh, Luhan ya? Tunggu sebentar.” Minseok bahkan sudah mengenal beberapa pegawai disini, mengingat dulu Luhan sering mengajaknya berkunjung.

Lelaki itu resah menunggu si resepsionis yang mungkin sedang mencoba menghubungi Luhan atau staff nya. “Uh, Minseok sayang sekali. Luhan sudah keluar bersama beberapa karyawan lain untuk makan siang. Mungkin ia akan kembali sekitar pukul setengah dua nanti. Mau menunggu?”

Bibir kucing itu mengerucut sebal. Ia gagal lagi menemui Luhan. Sesaat ia melirik arlojinya dan setengah jam lagi, kelasnya dimulai. “Tidak usah. Aku ada kelas di kampus dan tidak bisa menunggunya.”

Gadis cantik itu mengangguk. “Baiklah. Lain kali, pastikan kekasihmu ada di kantornya ya jika ingin membuat kejutan. Ah, apa ada yang perlu ku sampaikan padanya nanti?”

Minseok mengulum senyumannya. “Tidak. Tolong juga, jangan katakan padanya jika aku kesini hari ini, ya?”

Dijawab oleh anggukan antusias gadis itu. “Baiklah. Aku mengerti. Semangat dengan kelasmu hari ini ya.”

“Baiklah. Terima kasih.” Seraya berjalan, Minseok mengangguk dan tersenyum kepada gadis itu, juga beberapa pegawai lain yang kebetulan lewat.

***

Hyung! Minseok Hyung!”
Seorang lelaki dengan rambut blonde berlari pelan kearah Minseok sambil melambaikan tangannya. Minseok tersenyum.

“Ada apa, Sehun?”

Sehun, adik angkatan Minseok di kampusnya itu tersenyum. “Tidak ada apa-apa hyung. Apa hyung sudah makan?” Tanya Sehun lagi. Kali ini sambil merangkul bahu kecil Minseok.

“Sudah, Sehun.”

Dan seketika wajah Sehun berubah mendung. “Padahal aku ingin mengajak hyung makan.”

Minseok tertawa. “Kau mau mengajakku supaya aku mau membayar makananmu juga, kan? Dasar anak nakal.”

Sehun tertawa renyah. Sepertinya Minseok sudah sangat hapal kebiasaannya. “Ah kenapa hyung tahu?”

“Tidak perlu membeli. Kebetulan hari ini aku membawa bekal. Makanlah.”

Mata Sehun membola melihat Minseok yang menyodorkan kotak makan berukuran cukup besar itu padanya. “Sungguh, hyung?”

“Iya, Sehun. Makanlah.”

Sehun tertawa senang. “Ah hyung ini memang yang terbaik! Terima kasih, hyung!”  Anak itu memasukkan kotak bekal Minseok kedalam tasnya.

***

Dan malam ini, lagi-lagi Minseok menunggu Luhan. Duduk menatap kearah jendela berharap kekasihnya segera pulang.

“Lagi-lagi kau belum tidur.” Minseok menoleh. Mungkin ia terlalu serius menatap jendela sehingga tidak menyadari Luhan yang sudah pulang.

“Aku ingin bertemu denganmu.” Jawab Minseok lirih. Mendekati Luhan yang menghempaskan badannya ke sofa tanpa ada niat untuk melakukan hal lain. Sudut bibirnya sedikit terangkat mendengar jawaban Minseok.

“Kita tinggal satu atap Minseok.” Dan Luhan dapat mendengar Minseok yang menghela nafas kasar, lalu duduk disebelahnya.

“Tapi kita tidak pernah bertemu.”

“Sekarang kita bertemu, kan?”

“Kau kenapa, Luhan?” Minseok mengubah arah matanya pada Luhan. Bukan Luhan yang sedang duduk disisinya, namun Luhan yang ada didalam salah satu pigura diatas meja.

Luhan tertawa. “Aku tidak kenapa-kenapa. Seharusnya aku yang bertanya, kau kenapa?”

“Aku? Aku baik-baik saja Luhan. Tidak sepertimu.”

Tatapan Minseok menajam memandang Luhan. Namun sang kekasih tidak gentar, malah menatap Minseok semakin menantang.

“Lalu kau pikir aku kenapa?” Nada suara Luhan berubah rendah.

“Kau berubah, Luhan.” Desis Minseok. Dan Luhan hanya tersenyum meremehkan.

“Jika kau pikir aku berubah, seharusnya kau Tanyakan pada pikiranmu, Minseok. Aku adalah aku dan tidak berubah sama sekali.”

Baru saja Luhan bangkit, hendak berdiri. Minseok menarik bahunya, membuat tubuh lelah Luhan terhempas lagi. “Apa-apaan, kau ini?”

“Mari jangan salahkan siapapun, kali ini. Apakah kau pernah berpikir sebentar tentang hubungan kita, Lu?” Jemari Minseok gemas, masih menahan bahu Luhan.

“Aku sibuk Minseok! Apa sebegitu pentingnya sehingga aku harus berpikir tentangmu? Tentang hubunganmu dan segala macamnya?”

“Ini bukan tentang aku dan hubunganku. Tapi hubungan kita, Luhan!” Minseok mulai memekik dan tangan Luhan mulai gemetar menahan emosinya.

“Persetan dengan itu, Minseok. Aku tidak peduli apapun lagi.”

Hati Minseok mengendur. Mencoba berpikir rasional dan tetap tenang. “Kau sudah tidak mencintaiku lagi, Luhan?”

Dan Luhan tertawa. “Berhenti bersikap konyol, Minseok. Aku muak denganmu. Dengan sikap sok manismu dan kau terlalu kekanakan untukku. Kau bahkan tidak pernah mengerti apapun tentang aku dan kesibukanku.”

Minseok menelan ludahnya. Ia melepaskan cengkeramannya pada tangan Luhan. “Baiklah.”

Selebihnya, Luhan hanya menatap Minseok yang berjalan masuk ke kamarnya tanpa berkata apapun lagi. Mungkin mandi bisa sedikit menyegarkan pikiran, pikir Luhan.

***

Semalaman, Minseok tidur dengan tidak baik. Membuat keadaannya pagi ini lebih dari sekedar kacau.
“Astaga hyung! Apa yang terjadi denganmu?” Pekik Sehun heboh ketika melihat penampilan Minseok hari ini. Dan yang ditanyai hanya tersenyum. “Aku tidak apa-apa, Sehun.”
“Jangan berkata seolah-olah kau ada di dalam drama, hyung.” Ujar Sehun sinis. Minseok tertawa kecil. “Jangan khawatir Sehun. Aku hanya lelah, memindahkan barang-barangku tadi pagi.”
“Kau pindahan?” Tanya Sehun.
“Tidak kok. Aku tetap tinggal di apartemen lamaku. Hanya menata ulang beberapa barang mungkin bisa membuat tubuhku sedikit berolah raga.”
Sehun hanya mengangguk patuh. Ia melupakan fakta jika selama dua tahun terakhir ini Minseok tinggal di apartemen Luhan.
“Baiklah hyung, mungkin segelas jus akan membuatmu kembali segar? Kali ini aku yang bayar.”
Minseok tertawa melihat Sehun mengerlingkan sebelah matanya. “Oke, oke. Terima kasih banyak Sehun.”

***

Seperti yang Minseok duga sebelumnya, tinggal sendiri atau bersama Luhan memang tidak ada bedanya. Ia hanya memasak untuk dirinya sendiri. Dan sendirian sepanjang hari. Bedanya, sekarang Minseok tidak akan segan-segan untuk bermain keluar rumah sampai larut tanpa harus mengkhawatirkan orang yang ternyata tidak memikirkan dirinya lagi.

Sedikit bebas dan bahagia. Mungkin itu yang Minseok rasakan saat ini. Dan meskipun tak menampik jika ada sedikit rasa sedih, namun Minseok tidak menyesal.

Ia menjalani hidup dengan baik terlebih di akhir minggu seperti hari ini. Minseok berencana akan berjalan-jalan disekeliling kota dan menikmati beberapa kuliner yang belum pernah ia makan.

Sedikit berbeda dengan Luhan. Ia terbangun di sabtu pagi dengan wajah lusuh dan kamar yang mega-berantakan.

Selintas, ia memang tidak memikirkan Minseok yang resmi pergi dari apartemennya beberapa hari lalu.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ini libur pertama Luhan sejak beberapa bulan belakangan. Bahkan tak jarang ia berangkat ke kantor di sabtu-minggu untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Sekali lagi, Luhan merebahkan tubuhnya pada kasur dan menatap jam yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang.

Rasanya malas sekali untuk bergerak. Namun suara berisik perut Luhan mengacaukan segalanya.

Dengan gontai, lelaki itu berjalan dan mengarah pada lemari pendingin. Namun hanya didapati beberapa buah apel dan air mineral didalam botol. Ia sampai tidak sadar jika kulkasnya sudah kosong. Tangannya meraih satu apel dan berpikir, mungkin di kabinet ada makanan lain.

Hasilnya, sama saja. Hanya ada beberapa toples kosong dan sekotak sereal.

Luhan tidak terlalu suka sereal sebenarnya, dan itu milik Minseok.

Mau tidak mau, Luhan mengambil kotak sereal yang – beruntungnya – masih ada setengah isinya. Tapi Luhan juga tidak terlalu pintar untuk mengingat, persediaan susunya sudah habis.

Jadi setelah menuangkan separuh isi sereal ke mangkok. Luhan hanya mendesah kesal dan memasukkan mangkok beserta isinya kembali ke kabinet bersama dengan kotak yang sudah kembali ditutup.

Sepertinya Luhan harus rela memakan apel saja hari ini. Atau mungkin, ia akan memesan beberapa makanan nanti.

Luhan terduduk di sofa sambil memegang apel yang tinggal setengah. Tubuhnya disandarkan dan bibir yang terus mengunyah. Membuat Luhan terlihat rileks.

Lelaki itu terdiam. Ia menoleh ke samping.

Kini ia berada tepat di tempat beberapa hari lalu ia juga duduk. Ketika Minseok menantikan beberapa penjelasan darinya dan berujung cekcok.

Biasanya disaat seperti ini, Luhan bisa dengan mudah melihat Minseok yang sibuk bolak balik didapur memasak sarapan untuknya. Lalu membersihkan kamar dan setelah ia mengantarkan baju kotor ke laundry, Luhan akan mengajak Minseok untuk berjalan-jalan sampai petang.

Luhan mengusap wajahnya kasar dan berdiri. Ia mengambil jaketnya dan memakai sepatu.
Mungkin berjalan-jalan bisa menengkan pikiran.

Tidak peduli tentang fakta jika ia belum cuci muka, toh ia masih merasa tampan. Hanya perlu sisir dan sedikit parfum. Lalu, perfect!

Setelah beberapa saat, Luhan akhirnya memakirkan mobil di salah satu café dan mungkin ia bisa memesan seporsi pancake dan Americano.

Seraya menunggu pesanan datang, Luhan melihat-lihat keadaan sekitar.

Sedikit terkejut mendapati sosok yang serupa dengan Minseok sedang berjalan di trotoar bersama seorang lelaki lain.

Luhan menepis pikirannya. Mereka sudah putus, dan apa peduli Luhan jika orang itu memang Minseok?

Namun ternyata, orang itu memang Minseok. Dan ia memasuki café yang sama bersama lelaki blonde yang sedari tadi berjalan bersamanya.

Terlihat lucu bagi Luhan. Ketika mengantri, Luhan bisa dengan jelas melihat tangan si lelaki blonde hendak merangkul bahu Minseok, namun tidak jadi. Entah karena apa.

Jadi, Minseok sudah menemukan pacar baru? Cepat sekali. Pikir Luhan.

Luhan terus mengawasi Minseok dan lelaki blonde itu sampai mereka berdua keluar café dan kembali berjalan entah menuju kemana.

Tapi, tidak tahu kenapa, Luhan malah memilih berdiri dan mengikuti kedua lelaki itu dan meninggalkan mobilnya di parkiran café.

Sedikit asing rasanya jika harus berjalan dan hanya memperhatikan Minseok seperti ini. Mengingat, biasanya Luhan lah yang menemani Minseok. Bukan lelaki blonde asing tidak dikenal itu.

Tak ingin ketahuan menjadi stalker, Luhan menjaga jarak dari mereka berdua dan tetap tenang di zonanya. Tidak membuat keributan atau membuat Minseok curiga.

Dari tempatnya, Luhan dapat melihat Minseok dan si Blonde membeli beberapa jajanan pinggir jalan dan satu-dua pernak pernik seperti gantungan kunci.

Sesekali, Minseok dan si bocah Blonde mengobrol diselingi dengan canda yang membuat keduanya tertawa. Miris, Luhan hanya bisa memperhatikan Minseok seperti ini.

Terasa seperti, saat kuliah dulu. Ketika Luhan hanya bisa melihat Minseok dan belum berani menegurnya. Luhan memang memiliki bakat stalker alami.

Sedikit tawa Luhan lepas ketika mengingat itu. Mengingat betapa ia dulu seperti orang bodoh yang menguntit dan mengagumi Minseok.

Sebegitu mempesona Minseok dimata Luhan sehingga Luhan bahkan mampu mengabulkan apapun untuk Minseok.

Minseok bukannya tipe orang yang mudah dekat dengan orang lain. Luhan tahu betul itu, dan sedikit aneh jika melihat Minseok sudah bersama lelaki lain hari ini. Padahal dulu, ia harus mengeluarkan segala tenaga ekstra untuk mendapatkannya.

Sepertinya, kedua insan itu terlalu asik mengobrol sehingga tidak melihat sebuah mobil dari arah berlawanan yang berpotensi besar menabrak Minseok.

Seketika, Luhan berlari dan menarik Minseok menjauh dari badan jalan. Membuat Sehun, si lelaki blonde sedikit bingung dan Minseok terdiam.

Hyung, kau tidak apa-apa?” Tanya Sehun tiba-tiba. Ia berdiri dan memegang bahu Minseok lembut.

Minseok menatap Luhan tanpa arti dan melepaskan tangan Luhan dari tubuhnya. “Aku tidak apa-apa, Sehun.” Ia tersenyum sekali pada Sehun untuk menenangkan anak itu.

“Terima kasih.” Ujar Minseok sembari menunduk dalam pada Luhan. Membuat mereka terlihat seperti tidak saling kenal.

Kali ini, Sehun kembali mengajak Minseok kembali berjalan namun dengan tangan Minseok dalam genggamannya.

Luhan merasa ada yang terbakar dalam dirinya. Begitu panas hingga ia mengejar Minseok dan melepaskan tangan Minseok dari genggaman Sehun.

“Hei! Apa-apaan?” Ujar Sehun sedikit meninggi. “Dengar ya, terima kasih sudah menyelamatkan Minseok hyung tadi, dan tolong jangan mengikuti kami lagi.”

Luhan tersentak. Jadi, bocah blonde ini menyadari keberadaannya?

Mata Luhan menatap pada Minseok, meminta Minseok untuk menjelaskan sesuatu pada Sehun. Namun Minseok hanya diam menatap Luhan.

“Sehun, sudahlah.” Kali ini, Minseok yang menarik tangan Sehun untuk menjauh dari Luhan.

Luhan menatap Minseok yang berjalan meninggalkannya dengan rasa tidak percaya. Minseok mengacuhkannya.
Belum sekalipun, sejak resmi menjadi kekasih Minseok. Ia diacuhkan oleh pria bermata kucing itu.

Luhan merasa tidak puas.
Ia yang mati-matian mengejar Minseok – dulu – namun kenapa malah ia yang diacuhkan? Sehebat apa pemuda bernama Sehun itu sehingga Minseok melupakannya?

Kakinya berjalan kembali menuju café dan mengambil mobilnya yang masih berada di parkiran.

Setelah itu, mengarahkan kendaraan roda empat itu ke apartemen lama Minseok. Meskipun sudah sedikit lupa dengan tempatnya, tetapi akhirnya ia berhasil mencapai kediaman lama Minseok. Dan sepertinya, lelaki itu belum kembali.

Entah masih berada dimana dengan Sehun.

Dan tepat sebelum hari menjadi gelap, Luhan dapat melihat Sehun dan Minseok berjalan beriringan. Tampaknya, Sehun hanya sekedar mengantar Minseok pulang kemudian lelaki itu pergi.

Minseok menyadari keberadaan Luhan, terlihat dari beberapa kali ia melirik kearah mobil yang terparkir itu, namun lagi-lagi. Luhan diacuhkan.

Setelah Sehun sudah menghilang dibalik tikungan, Luhan turun dari mobil dan mengejar Minseok yang berjalan cepat masuk ke apartemennya.

“Minseok!”

Minseok menoleh dan menatap Luhan. Sama datarnya dengan tatapan yang tadi siang ia dapatkan. “Ada apa?”

Hati Luhan sedikit tertohok mendengar kata-kata yang terdengar sangat dingin.

Luhan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berkata apa, jadi ia diam. Dan Minseok yang lelah kembali berjalan masuk ke apartemennya.

“Minseok! Tunggu!” Kali ini Luhan menahan tangan Minseok. Dan lelaki itu hanya memandang datar tangan Luhan yang mencengkeramnya. “Aku tidak punya waktu jika hanya untuk melihatmu berdiri diam seperti patung.”

Luhan menghela napas. “Baiklah. Aku ingin bertanya.”

“Apa?”

“Apa lelaki tadi, kekasih baru mu?”

Minseok tersenyum sinis. “Bukan urusanmu lagi.”

Segera kaki kecilnya menapak, namun kali ini tubuh Luhan yang menghadangnya. “Apa?” Tanya Minseok lagi.

“Apa?” Luhan balik bertanya membuat Minseok mengerutkan dahinya bingung.

“Apa yang dia punya sehingga kau mau berpacaran dengannya secepat itu?” Luhan segera melengkapi kalimatnya.

Sedangkan Minseok malah tertawa dan menyandarkan tubuhnya di dinding dengan santai. “Jelas sekali itu bukan masalahmu.”

“Aku perlu tahu, Minseok. Aku ingat, bahkan butuh beberapa bulan untuk bisa sekedar berkencan denganmu.”

“Bukankah itu, adalah masa lalu?” Sedikit sakit ketika Minseok mengucapkannya. Dan Luhan juga merasa sakit karenanya.

“Minseok.. Apa kau sudah tidak mencintaiku?” Tanya Luhan pelan.

“Luhan. Aku hanya sudah lelah bersikap konyol, sok manis dan kekanakan untukmu. Bukankah kau muak denganku? Dan lagi, aku tidak pernah mengerti tentang dirimu dan segala kesibukanmu.”

Luhan terdiam. Ini adalah kalimat yang ia katakan malam itu. Dan Minseok kembali mengulangnya dengan sempurna. Seperti rekaman. “Minseok maafkan aku. Aku tidak bersungguh-sungguh.”

“Permisi, aku lelah.”

“Minseok!”

Aw!”  Luhan menarik pergelangan Minseok paksa, menghasilkan satu pekikan dan Luhan spontan melepaskan tangannya.

Minseok menatap nanar pergelangannya yang memerah sedangkan Luhan merasa menyesal dengan yang ia lakukan. “Minseok, aku, aku tidak bermaksud untuk itu. Kau hanya perlu mendengarkan aku, Minseok.”

“Kenapa aku harus mendengarkanmu, sedangkan kau tidak mau melakukannya untukku?”

Luhan lagi-lagi terdiam. “Oke. Maafkan aku.”

“Aku memaafkanmu. Sekarang minggir. Aku mau pulang.”

“Baiklah.” Luhan membiarkan Minseok berjalan dan masuk ke apartemennya sementara ia kembali duduk dibalik kemudi mobil.

***

Nomor yang anda tuju tidak menjawab. Mohon ulangi beberapa saat lagi.

Biip

Lagi-lagi, Luhan membanting ponselnya sedikit kasar ke meja kerja. Ini sudah ke sekian kali ia mencoba munghubungi Minseok, namun lelaki chubby itu samasekali tidak menjawab teleponnya. Bahkan pesan singkat yang Luhan kirimkan pun diacuhkan.

Sekali lagi, ia mencoba meraih ponsel dan me-redial nomor Minseok.

“Halo.”

Berhasil! Namun, ini bukan suara Minseok.

Luhan yakin ini pasti suara Sehun.

“Dimana Minseok?” Tanya Luhan to the point.

“Minseok hyung sedang tidak ingin bicara.”

“Katakan pada kekasihmu, aku ingin bicara dengannya.”

“Minseok hyung bukan kekasihku, dan ia tidak mau bicara denganmu lagi.”

Luhan terdiam sebentar. “Lalu apa hubungan kalian?”

“Tidak ada. Dan kalau sudah selesai bicara akan kututup teleponnya.”

Kurang ajar sekali bocah ini. “Baiklah, katakan pada Minseok. Aku minta maaf.”

“Ia sudah memaafkanmu.”

“Apakah ia ada disana dan mendengarkan perkataanku?” Tanya Luhan tidak sabar. Sehun mendesah sekali . “Tidak. Dia sedang ke toilet. Jika dia ada disini, ia tidak akan mengizinkan aku untuk menjawab panggilanmu.”

Minseok itu keras kepala, dan seharusnya Luhan ingat itu.

“Lalu bagaimana kau tahu jika ia memaafkan aku?” Tanya Luhan lagi. Dan didengarnya Sehun tertawa. “Ia menceritakan semuanya padaku. Dan jika kau memang berniat meminta maaf darinya, sebaiknya kau berhenti menghubungi Minseok hyung karena ia mulai muak dengan tingkahmu.”

“Katakan pada Minseok aku merindukannya.”

“Dia juga merindukanmu. Sungguh aku tidak berbohong.”

Luhan menunduk mendengar ucapan Sehun. “Tapi, kata-kata dan sikapmu malam itu membuat hyung terlalu sakit hati denganmu.”

“Aku… Tidak bermaksud.”

“Aku tahu, tapi jangan lakukan hal itu lagi jika kau memiliki kekasih nanti.”

Dan seketika, Luhan terlihat seperti orang frustasi. “Bujuk ia untuk mau bicara denganku lagi.”

“Sudah cukup bicaranya? Apapun yang kau katakan pada Sehun, aku tidak peduli dan apapun yang Sehun katakan padamu, lupakan semuanya.” – pip

Sambungan terputus. Dan yang terakhir itu suara Minseok.

Luhan melipat kedua tangannya diatas meja dan menenggelamkan wajah disana.

Ia menangis mengingat Minseok, dan bahunya bergetar hebat.
Tidak seharusnya Luhan katakan itu. Tidak seharusnya Luhan melakukan semuanya.

Seharusnya Luhan bisa menjaga Minseok tinggal lebih lama lagi, jika saja ia mau mendengarkan. Jika saja, Luhan menjadi lebih peduli.

Jika saja Luhan menghabiskan masakan Minseok. Dan jika saja Luhan membalas pesan serta panggilan dari Minseok. Segalanya terasa begitu menekan Luhan.

Dulu, ia yang memperjuangkan Minseok. Kini, ia membuang hati orang yang ternyata masih berharga untuknya.

Berhenti menghubungiku dan hiduplah dengan baik. Aku hanya tidak ingin mengganggu kesibukanmu lagi. – Received message from Minseok.

Luhan semakin menangis. Pekerjaan bukanlah hal yang bisa dibandingkan dengan Minseok. Minseok jauh lebih berharga dari segalanya. Baik dulu, maupun sekarang.

Luhan mengambil ponselnya lagi. Menghubungi nomor Minseok, lagi. Dan ketika panggilan sudah terjawab, tanpa menunggu siapa yang akan bicara, Luhan tidak peduli.

“Minseok. Maafkan aku. Maafkan perkataan dan sikapku. Aku hanya berharap kau tidak membenciku.” Luhan berkata dengan sesenggukan. Napasnya satu-satu menahan isakan. “Aku tidak membencimu. Tidak pernah.”

Itu suara Minseok.

“Jika.. Jika kau tidak mau kembali denganku lagi, baiklah. Aku mengerti. Setidaknya..”

Luhan masih menahan supaya tidak terdengar seperti orang menangis, namun gagal. “Aku ingin kau hidup lebih baik. Dan aku..”

“Minseok, aku..”

“Aku merindukanmu, Minseok. Aku masih mencintaimu.”

Kali ini Luhan yang memutus sambungan dan melemparkan benda elektronik itu ke sembarangan arah. Ia menjatuhkan wajahnya lagi pada meja kerja dan tak peduli jika banyak berkas yang basah akibat air matanya.

Sedangkan Minseok diujung sana, hanya memandangi ponselnya dalam diam.

“Luhan maafkan aku.”

End

7 thoughts on “So So

  1. Ini apa? kenapa bikin aku mental breakdown banget? kenapa bikin aku gak pengen nulis review sedikit pun? ini apaaaaaAAA?!!! #

    Oke, ini bukan salah fiksi-nya, tapi ini salah aku yang terlalu sedih setelah menyadari kesedihan Jongin #curhat
    Hahhh~ lupakan~

    Apa ini ff request-ku? oke, kalau iya aku ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya #ciumkecup #nunduk
    Ini luhan kenapa? dia cuma stress kerja aja kan sampe ninggalin minseok gtu? OMG, #getokLu. AKu pengen minta sequel, tapi aku tahu aku terlalu banyak permintaan. jadi T-T boleh gak diganti dengan (kapan-kapan bikin FF KaiMin – JongMin dong~ yang angst) #KibarBenderaAngst <~~~abaikan saja paragraf ini.

    FF-nya kak yuri selalu nice kok ^^ dan aku suka banget, banget!!! dan selalu nungguin ff- dikau!! dan saking nunggunya, aku lupa nagih HEAVEN –
    #Kabur

    Nae Cinta you, neomu~

    -Aidapinky

    1. Kenapa act dan ucapanmu beda banget sih . Gak pengen nulis review tp hasilnya jadi pidato 17an …
      Wkwkwk. Kenapa sama ceritanya? Aneh ya? Maapin ;;
      Sebenernya efek aku selalu sendirian di office dan listen to lagu galau jadinya kebawa hati ini galau dan jadilah cerita angst. Dan karena dirimu request yg angst. Yaudah buat kamu ajadeh wkwk.

      Luhan disini ceritanya lagi sibuk2nya kerja gitu deh /sedikit curcol boleh ya/ . Jadi dia lupa kalo dia punya jablay (re:kekasih) dirumah yang butuh belaian kasih sayang. Nah giliran si istri protes, luhannya malah balik marah.

      Kaimin ya… diusahakan deh ya, tp kalo gada kaimin, Deimin aja gapapa kan? Wkwk

      Makasih ya kamu selalu setia sama FF aku :’) jadi terhura ..
      MAAFKAN SAYA SOAL HEAVEN SECEPATNYA SAYA LUNASIN YA BENER2 STUCK NIH AKU HWHWHW

      Ai sarang yu tu :*

  2. Huweekkkkkkk 😥 😥 😥 knp jadi begini????? Itu Luhan sma Minseok knp?????? So sad story 😥
    Makanya Lu~ jgn bersikap cuek..kan tau sendiri akibatnya.
    Terima kasih krn sdh bikin ff angst, hurt. Saya mmg cari ff genre angst tp yg yaoi. Buat lg dong, tp jgn yg akhirnya meninggal. Buat yg gantung aja kyk gini..
    Heaven!!!! 😀 sy cuman mengingatkan lg 😉

  3. burst into tears rn. FINALLY BACA FF-ANGST-XIUHAN indonesian setelah tenggelam di asianfanfics. oke. sEDIH BGT AND IT’S 2.46 AM Y U DO THIS TO ME. I LOVE YOU AUTHOR-NIM. Keep it up! gmn ya dapet bgt gitu feelnya huhuhu.

  4. burst into tears rn. finally baca –fic-xiuhan-angst indonesian setelah tenggelam di aff sekian lama. and it’s 2.51 AM y u do this to me this is sad. I love you, Author-nim!

Leave a comment